Senin, 23 Oktober 2017

A Sunday Well Spent: Jakarta Museum Tour

10/23/2017 09:44:00 PM 1 Comments
Kapan terakhir kalinya kalian mengunjungi museum? Bulan lalu atau bahkan belasan tahun yang lalu? :) Nah, awal bulan ini tepatnya Minggu 1 Oktober 2017, aku mengunjungi Jakarta selama beberapa hari dan berniat untuk pergi ke beberapa museum di kota ini. Karena aku bukan tipe orang yang terlalu suka pergi ke mall maka aku putuskan untuk pergi ke museum saja dalam menghabiskan akhir pekan.

Kebetulan aku dan temanku yang sudah berteman sejak SMA sepakat untuk pergi ke Galeri Nasional Indonesia dan juga Kawasan Kota Tua. Sebelumnya, aku sudah berpesan pada temanku untuk menggunakan transportasi umum seperti gojek, busway dan juga KRL saja untuk menembus macetnya Jakarta. Selepas Dzuhur, kami baru memulai perjalanan karena ada beberapa urusan yang harus diselesaikan oleh temanku dulu. Aku dan temanku janjian untuk langsung bertemu di Galnas (sebutan lain untuk Galeri Nasional Indonesia red) saja yang beralamat di Jalan Medan Merdeka Timur no. 14 dan kebetulan lokasinya berada tidak jauh dari Stasiun Kereta Api Gambir dan juga Monumen Nasional Indonesia (Monas).


Saat itu tengah ada pameran lukisan yang banyak menampilkan beberapa lukisan sarat akan makna politik namun sayangnya aku lupa memfoto nama pelukis yang tengah mengadakan karya. Bangunan tempat lukisan itu dipamerkan  terletak di sebelah kanan jika kita berjalan masuk dari gerbang utama. Dari luar bangunan utama, sudah ada beberapa patung yang sangat artsy untuk sekadar dijadikan backgroud foto. Saat kami tengah berkeliling, ada bangunan utama lainnya yang digunakan sebagai tempat untuk memamerkan karya yang bersifat permanen tidak seperti bangunan di sebelah kanan tadi. Namun karena saat itu sudah menunjukkan pukul 2 siang dan kami masih berencana untuk pergi ke destinasi lainnya maka kami memutuskan untuk tidak ikut mengantri seperti pengunjung lainnya. Oh iya, untuk masuk kesini kalian tidak perlu membayar alias GRATIS loh.



Perut yang mulai keroncongan membuat kami melirik beberapa tempat makan di area Galnas tetapi tidak ada yang menarik minatku. Sebenarnya ada beberapa kafe di tempat ini, namun kami akhirnya memutuskan untuk menyebrang ke Stasiun Gambir saja dan makan disana karena lebih banyak pilihan. Setelah selesai makan barulah kami kemudian naek busway yang loketnya tidak jauh dari situ lalu pindah menaiki KRL untuk menuju Stasiun Jakarta Kota. Keadaan di KRL yang tidak terlalu ramai sehingga memungkinkan kami untuk duduk dan tidak berdesak - desakkan.

Sesampai di kawasan Kota Tua sudah layaknya lautan manusia yang dipenuhi oleh orang – orang yang tengah menaiki sepeda atau sekadar duduk – duduk di depan Museum Fatahilah. Ini bukan pertama kalinya aku kesana namun saat itu sudah terlalu sore yakni jam setengah 4 sore sehingga aku gagal untuk masuk ke Museum Fatahilah (museum ini tutup jam 3 sore). Jadi akhirnya kami memutuskan untuk ke Museum Seni Rupa dan Keramik yang jam bukanya hingga pukul 5 sore. Museum ini terdiri atas 2 lantai dan di lantai pertama lebih banyak dipamerkan kerajinan seni rupa Indonesia dari zaman ke zaman sedangkan lantai 2 yang berisi pameran karya lukisan. Ada banyak lukisan dari pelukis terkenal seperti Basuki Abdullah, Raden Saleh Syarif Bustaman, Antonio Blanco maupun pelukis istana Lee Man Fong yang dipamerkan. Untuk masuk kesini pengunjung hanya dikenai tarif Rp 5.000,00. Sebenarnya ada banyak museum yang bisa dikunjungi di sekitar kawasan Kota Tua seperti Museum Wayang atau Museum Bank Indonesia yang bisa kalian lihat disini versi detiktravel .





Saat sedang asyik menikmati karya, ternyata jam berkunjung di museum sudah habis dan akhirnya kami pun juga segera bergegas pulang. Saat hendak pulang, aku tadinya ingin menaiki bus wisata bertingkat double decker yang bisa membawa kita keliling beberapa tempat wisata di Jakarta secara gratis dan tempat pemberhentiannya tidak jauh dari Stasiun Jakarta Kota. Namun ternyata antriannya panjang sekali dan saat itu pun langit sudah sangat mendung pertanda akan segera hujan akhirnya kami segera keluar dari antrian dan memutuskan naik busway saja. Benar dugaanku, tak lama kemudian hujan sangat deras mengguyur Jakarta tepat saat aku berada di bus. Sebenarnya berwisata di Jakarta pun tak melulu harus pergi ke mall, mungkin ini bisa jadi referensi kalian ketika menghabiskan akhir pekan di ibu kota.

Kamis, 19 Oktober 2017

Pilihan Nekat Menjalani Solo Traveling

10/19/2017 09:43:00 AM 1 Comments
“Life begins at the end of your comfort zone” – Neale Donald Wlasch

Apa yang paling sulit dari melakukan sesuatu? Menurutku itu adalah sebuah momen pertama kita memutuskan untuk memulai. Ya, sama halnya dengan menjalani hidup menjadi seorang solo traveler sebenarnya sudah lama aku pikirkan. Tapi pada saat itu, aku terlalu banyak pemikiran A, B, C dan D yang kemudian hanya sebatas wacana kala itu. Terkadang kita merasa puas atas pencapaian yang sudah pernah kita dapatkan sebelumnya seperti gaji yang cukup, pengalaman mengikuti organisasi semasa kuliah, kegiatan volunteering atau bahkan IPK tinggi (untuk masalah IPK sih aku merasa biasa – biasa saja toh punyaku pun tidak cumlaude haha) sehingga lupa untuk “mengasah diri kembali”. Padahal proses belajar itu harusnya dilakukan seumur hidup di sebuah sekolah yang bernama kehidupan.




Momen terberat yang harus aku hadapi tahun ini adalah tidak pulang ke Lampung untuk merayakan Idul Fitri dan berkumpul bersama keluarga inti. Melainkan aku harus tetap berada di perantauan karena ada beberapa urusan yang harus aku selesaikan. Kala itu aku memang tengah berada di Yogyakarta untuk waktu yang cukup lama. Berat rasanya berpisah dengan orang - orang terkasih yang biasanya tidak pernah absen di momen hari raya. 

Sejak kecil sebenarnya aku ingin merasakan lebaran di kota yang terkenal akan panganan khasnya berupa bakpia dan gudeg itu yang merupakan kampung halaman dari almarhum bapak. Manusia boleh berencana namun Tuhan yang menentukan. Bapak sudah keburu dipanggil oleh Yang Maha Kuasa sebelum sempat membawa kami sekeluarga merasakan lebaran di tempat ayahku menghabiskan masa kecil hingga remajanya dulu. Tetapi untungnya, ada sepupuku yang cukup dekat denganku juga akan menghabiskan waktu lebaran di Jogja dan budeku berjanji akan mengenalkanku dengan beberapa saudara jauh kami yang masih tinggal di Jogja. Rasa haru kemudian menyelimuti perjalananku kala itu dimana aku banyak mendengar kisah hidup beliau semasa hidup. 

Tak lama setelah beberapa hari usai lebaran, sepupuku beserta keluarga (pakde, bude, saudara ipar dan keponakanku) kembali ke Lampung. Otomatis, aku kembali "sendirian" dalam melanjutkan perjalanan. Setelah sebelumnya sempat bertemu untuk reuni dengan teman kuliah, aku lalu pergi ke Jombang untuk memulai solo traveling kembali yang juga aku tulis disini . Disana, lagi - lagi aku ketemu orang baik yaitu Vinta, temanku kuliah dulu. Jujur, awalnya ada rasa sungkan tinggal di rumah temanku di Jombang tetapi alhamdulilah ternyata aku disambut hangat oleh keluarganya. (Terima kasih Vinta!)



Bagian terpenting dari perjalanan solo traveling ini adalah perpindahan dari satu tempat ke tempat lain yang kemudian juga menuntutku untuk segera cepat beradaptasi dengan lingkungan dan situasi yang baru. Aku pun jadi bisa memahami diriku secara lebih dalam dan berubah menjadi versi lebih baik atas kemauanku. Secara tidak langsung mungkin tanpa kalian sadari, semakin dewasa terkadang lingkungan mendorong atau yang lebih parahnya memaksa kita menjadi pribadi yang bukan seperti kemauan kita. Hal itu tidak lain karena agar kita terlihat "benar" di mata mereka padahal jauh di lubuk hati, kita hanya berusaha untuk menyenangkan orang lain tepat seperti apa yang mereka pikirkan.

Selain itu, aku pun menjadi terbiasa untuk memulai percakapan dengan orang asing. Dulu, aku agak susah untuk melakukan ini karena mungkin sedikit ada rasa sungkan, malu atau bahkan gengsi. Tetapi sekarang semua itu perlahan terasa mudah dan menyenangkan :) Entah ketika aku menyapa seseorang di kereta, bus, gojek atau ibu - ibu penjual warung yang jadi teman ngobrolku. Bersyukur selalu ada orang baik yang aku temui di setiap perjalanan yang tanpa sungkan membantu. Ya semua ini kusadari adalah titik awal kenekatanku untuk berani mendobrak tembok ketakutan "what if" yang selama ini ada di kepalaku. 

Aku pun berterima kasih kepada banyak orang yang kutemui selama perjalanan yang kuanggap seperti sosok guru buatku karena semakin lama aku semakin mengerti bahwa kita tidak boleh terlalu cepat men-judge sesuatu tanpa pernah tau kisah seseorang di balik itu semua.

Jumat, 06 Oktober 2017

Pengalaman Menjadi Duta Cerita The Habibie Center

10/06/2017 05:59:00 AM 4 Comments
Beberapa bulan lalu tepatnya tanggal 28 - 30 Juli 2017, aku terpilih menjadi satu dari 30 Duta Cerita dan berkesempatan untuk mengikuti sebuah pelatihan yang diadakan oleh The Habibie Center di kota Solo. Setelah sebelumnya melewati serangkaian proses dari menulis esai, mengirimkan video profil dan mengikuti interview via skype. Berdasarkan penjelasan yang ada di facebook The Habibie Center, program CERITA adalah sebuah program untuk inklusivitas yang menggabungkan storytelling, transformasi konflik dan penggunaan aplikasi digital. Kegiatan pelatihan yang berlangsung selama dua setengah hari ini mengajak peserta untuk bisa memahami isu toleransi dan keberagaman yang terjadi di sekitar kita  Program CERITA yang memiliki kepanjangan “Community Empowerment for Raising Inclusivity and Trust through Technology Application” ini juga berlangsung di Jakarta, Jogjakarta, Bandung dan Malang.




Bagiku pribadi, ini adalah pengalaman yang seru sekaligus menantang dimana aku berkesempatan untuk berdiskusi dengan pemateri yang sudah expert di ranah transformasi konflik seperti Rahimah Abdulrahim (Executive Director The Habibie Center), Stephen Shashoua (Founder Plan C: Culture and Cohesion), Abdul-Rehman Malik (Program Manager Radical Middle Way), Dr. Rudi Sukandar (Associate Fellow The Habibie Center), Aan Permana (Program Manager CERITA), dan Rosalina Wulandari (Co-Founder & CEO Lentera Indonesia). Acara pelatihan ini pun dikemas dengan sangat menarik dimana kita tidak hanya duduk diam mendengarkan instruksi tapi juga diajak untuk melakukan beberapa aktivitas layaknya bermain sambil belajar. Plus pasokan snack dan minuman di Omah Sinten yang super enak juga bikin para peserta ga keroncongan selama acara hehe





Melalui kegiatan ini, aku juga baru tau kalau bercerita itu juga bisa menjadi salah satu terapi healing process. Selain itu, aku juga belajar menjadi lebih peka dengan mendengar pengalaman para duta cerita lainnya yang pernah mendapat diskriminasi di lingkungan mereka. Kadang sebagai manusia kita tidak sadar bahwa tindakan kita bisa menyakiti orang lain seperti membully, menyebarkan ujaran hate speech atau berita hoax apalagi di era perkembangan digital seperti sekarang dimana kita bisa saja berlindung dibalik identitas anonim. Sehingga output dari kegiatan ini, para DUTA CERITA bisa melakukan replikasi training mengenai transformasi konflik dan story telling di kota asal para peserta.




Kegiatan ini juga menginspirasi aku dan temanku sesama Duta Cerita di Solo (Mas Dwi) untuk membuat kegiatan serupa di Pare, Kediri pada hari Minggu 27, Agustus 2017 dengan nama “ Pare Bercerita: Unity in Diversity”. Ketika kami membuat program tersebut, kami ingin memberikan hasil yang maksimal walaupun dengan persiapan acara yang sangat mepet yakni kurang dari dua minggu. Kami pun juga turut berkomunikasi dengan pihak The Habibie Center sekaligus meminta saran ditengah kesibukan kami masing - masing. Sebagai trainer merangkap seksi repot kami juga dituntut untuk bisa menghandle acara dengan baik mulai dari memikirkan konsep, mencari peserta, menjadi seksi konsumsi dan juga dokumentasi. Tetapi rasa capek itu terbayar ketika melihat antusiasme para peserta yang datang dari berbagai kota di Indonesia seperti Makassar, Solo, Polewali Mandar, Lampung, Jombang, dan Medan. Peserta yang kebetulan sedang belajar di Pare ini memiliki semangat dan kepedulian akan isu toleransi yang terjadi di lingkungan dimana mereka berasal. Di akhir acara, peserta juga kami minta untuk menceritakan pengalaman keberagaman mereka dalam bentuk video dan juga bekerja secara berpasangan . Mungkin ini sebuah langkah kecil yang bisa aku lakukan sebagai salah satu pemudi Indonesia untuk tidak hanya menggerutu terhadap masalah sosial yang ada namun juga mengajak orang lain untuk bersama – sama melakukan perubahan :)