Kamis, 27 Desember 2018

Ekspektasi

12/27/2018 05:59:00 AM 7 Comments


    

Mari sejenak menghela napas di penghujung tahun 2018 ini untuk mengingat kembali berbagai peristiwa yang sudah kalian lewati selama setahun belakangan. Ada berbagai alasan mengapa pada akhirnya kalian harus menjalani kehidupan yang entah saat ini suka atau tidak suka harus menjadi bagian dari sebuah cerita perjalanan. Mari sekadar untuk kembali menghitung mundur di detik – detik pergantian tahun, mungkin beberapa dari kita dengan semangatnya akan merancang berbagai resolusi yang ingin dicapai dengan harapan tiada aral melintang. Tetapi bagaiamana ketika di tengah jalan, kita dihadapkan pada sebuah permasalahan yang menuntut kita untuk memutar haluan atau jika ingin dipaksakan hanyalah kesia – siaan yang akan kita peroleh. Perubahan yang mendadak tidak akan pernah membuat kita siap. Namun justru pada bagian ketika ada masalah yang menghadang, sebuah proses pendewasaan diri kita diuji kembali. 

Ekspektasi yang begitu tinggi, harapan yang sudah dipupuk sedemikian rupa maupun doa yang terus dirapal perlahan bisa saja menjadi sebuah duka. Tetapi namanya manusia memang suka sekali berandai – andai sampai lupa diri. Padahal jika kita mau berbenah dengan seksama meminimalisir ekspektasi yang terlalu tinggi mungkin batin akan jauh lebih siap. Terkadang ekspektasi pun ga melulu datang dari diri sendiri karena bisa saja datang dari orang – orang terdekat. Mungkin secara nggak sadar kerap kali kita mendapat komentar dari kerabat kita seperti “Masa gini aja ga bisa sih?” atau justru kita yang melontarkan ucapan seperti itu dan lupa bahwa bisa saja itu pengalaman seseorang dalam memahami sesuatu untuk pertama kali sehingga membutuhkan bantuan kita.



Selain itu hidup sebagai makhluk sosial kadang juga membuat kita terlalu cepat menghakimi pilihan – pilihan hidup seseorang. Adanya sebuah “standar” yang secara tak tertulis yang bisa saja membuat orang lain tertekan dan membuat mereka tidak menjadi dirinya sendiri. Mungkin yang juga membuat gusar pun jika kita ternyata tidak bisa memenuhi ekspetasi orang – orang terkasih yang berharap banyak pada kita. Lalu timbul perasaan bersalah, tidak enak hati atau bahkan yang paling parah menyebabkan sebuah depresi. Jangan sampai perasaan ini dibiarkan berlarut – larut dan membuat kita malah jadi dipenuhi oleh pemikiran – pemikiran yang negatif.

Ya, semoga kita bisa terus belajar untuk mengelola perasaan diri sendiri dan juga harapan kita pada orang lain. Kita juga harus ingat bahwa segala hal itu membutuhkan proses dan baik buruknya sesuatu itu pasti ada hal yang bisa kita ambil hikmahnya. Teruslah memiliki ekspektasi yang positif sehingga keriangan pun akan selalu menjadi inspirasi positif kita dalam berkarya.

Minggu, 02 September 2018

Bapak.

9/02/2018 11:20:00 PM 3 Comments
Sepuluh tahun hampir berlalu sejak tanggal 10 November 2008. Pagi itu gue masih ingat akan suasana rumah yang mendadak chaos karena tiba - tiba bapak sudah kesulitan bernapas. Bapak ga pernah bilang kalau beliau ternyata punya sakit jantung dan baru ketahuan setelah dibawa ke rumah sakit untuk terakhir kalinya. Saat itu gue masih makan sarapan pagi bareng sama adek gue. Kebetulan Senin itu gue kebagian masuk sekolah di jam siang bergantian dengan senior - senor gue di SMA karena keadaan sekolah yang sedang di renovasi. Jadi gue bisa ngelihat dengan jelas gimana mama yang tiba - tiba panik dan langsung nyuruh om gue untuk bawa bapak ke rumah sakit. Hati gue mendadak sakit dan gue bingung harus berbuat apa ngeliat bapak yang tiba - tiba kehilangan kesadaran. Akhirnya bapak kemudian dibawa ke rumah sakit dan sempat jatuh dari gendongan om gue di pintu rumah bagian depan. Saat itu firasat gue makin ga enak dan banyak pikiran negatif di kepala yang bersliweran.

Mungkin sekitar 1 jam kemudian mama nelpon ke rumah dan yang ngangkat mbak pembantu. Mbak itu langsung meluk gue dan bilang "Tari, jangan nakal ya. Jagain adek - adeknya". Saat itu gue langsung nangis kejer dan seakan poros dunia terhenti di waktu itu. Ga lama ada tetangga yang denger dan sempat bingung tiba - tiba ada kerusuhana apa di rumah gue karena gue nangis tersedu - sedu. Gue dengan masih terbata - bata pun bilang "Bu, bapaknya Tari udah nggak ada. Tari bakal beda kayak anak - anak lain". Lalu si ibu - ibu tetangga gue itu yang gue lupa siapa namanya langsung ngabarin tetangga yang lain dan 30 menit kemudian gue denger pengumuman di TOA masjid kalau bapak udah ga ada. Kalau ditanya rasanya kayak gimana ya gue bisa bilang saat itu gue kayak ga nginjek tanah dan melayang. Gue juga masih ingat gimana gue menahan tangis pas nyium pipi almarhum sebelum dikafanin. Wajahnya seolah tersenyum biarpun gue lihat bapak sudah terbujur kaku.

Rasanya bangkit dari kehilangan emang ga pernah gampang. Ada masa dimana gue nangis hampir tiap malem sambil pake baju kerja beliau dan nutup diri di kamar biar mama dan adek - adek gue ga tau. Tapi pelan - pelan gue selalu belajar untuk ikhlas melepas kepergian beliau. Gue juga mulai diskusi dan saling menguatkan sama adek - adek gue biar mereka ga ikutan sedih karena gue merasa bertanggung jawab sebagai anak sulung. Meskipun saat ini, alhamdulillah gue udah punya papa sambung lagi yang sama baiknya seperti bapak gue. Sampai sekarang gue ga akan lupa cara almarhum ngedidik gue dulu semasa beliau hidup untuk jadi orang yang peka sama sekitar dengan ikut kegiatan volunteering, kerja keras dan respect sama orang dari latar belakang apapun.

Mungkin dari atas sana, almarhum bapak bisa ngeliat gue yang sedang berjuang untuk merajut mimpi - mimpinya, bahagiain papa sama mama, dan bisa jadi contoh yang baik untuk adek - adek gue.  Ya walaupun kadang gue masih akan tetap cengeng kalau tiba - tiba kangen sama beliau dan hanya bisa kirim doa dari jauh.

Gue kadang kangen momen - momen saat gue masih sekolah dulu diantar jemput sama beliau, makan bakso bareng dan ngobrol selama di jalan. Bapak juga ga pernah capek nanggepin pertanyaan apapun soal hal - hal yang ga gue paham tentang hal - hal yang terjadi di sekitar hidup kita.  Dulu gue juga ga terlalu suka nonton tayangan berita karena menurut gue itu membosankan. Tapi sekarang tiap gue nonton berita di tv atau youtube, gue kadang kangen untuk diskusi bareng sama beliau.

Ah, gue ga sadar kan lagi - lagi mbrebes mili (meneteskan air mata) kalau ingat beliau yang dulu sering ngajak gue jalan - jalan atau main badminton bareng. Makanya gue akan bisa sangat mellow kalau ngeliat anak kecil yang deket banget sama bapaknya. Yang tenang ya pak disana, nanti kalau Tari pulang ke Lampung pasti Tari akan ziarah ke makam bapak :)


Melbourne, 3 September 2018

Selasa, 03 April 2018

Wominjeka!

4/03/2018 04:11:00 AM 1 Comments
Ada yang pernah dengar istilah Wominjeka? Ini merupakan ucapan selamat datang yang berasal dari bahasa Woiwurung sebagai bagian dari suku asli negara Australia yakni suku Aborigin dan kalian bisa cari tahu hal tersebut di sini. Ketika awal memasuki masa orientasi kampus, aku pun juga disambut dengan kegiatan welcoming orientation student bertajuk wominjeka. Tak terasa hampir 2 bulan aku menjalani perjalanan babak baru dalam hidupku sebagai mahasiswa Master of Education in Digital Learning di Monash University, Australia. Campur aduk rasanya mengingat perjuangan yang telah aku lakukan sepanjang 2 tahun terakhir ketika memutuskan menjadi seorang scholarship hunter
Wominjeka Pathway

Di awal tahun 2016, aku pernah menulis sebuah catatan pada dream board yang aku tempel di kamarku bahwa aku ingin tinggal selama kurang lebih 1 – 2 tahun di sebuah negara asing dan menjadi seorang minoritas. Muncul sebersit keinginan untuk memandang dunia dari perspektif yang lain dan tentunya hal itu akan membuatku menjadi lebih bersyukur dari sebelumnya. Saat berada di sini,  terkadang muncul rasa rindu ketika sudah tiba waktu sholat namun tidak ada suara adzan berkumandang yang bersahut – sahutan. Hal ini tentunya berbeda jauh saat tengah berada di tanah air dimana kita akan dengan mudahnya menemukan masjid untuk menunaikan ibadah. Untungnya saat berada di kampus, aku bisa menemukan tempat untuk sholat di gedung Religious Center.
Religious Center Building
Selain itu, minggu – minggu awal kedatangan pun aku juga harus membiasakan diri dengan perbedaan jam dengan Indonesia dan tentunya cuaca. Banyak yang bilang bahwa ketika kita berada di Melbourne, kita akan merasakan 4 cuaca sekaligus dalam sehari dan itu ternyata ga bohong! Sering banget aku udah cukup pede pergi ke kampus dan ga bawa jaket karena lihat ramalan cuaca yang cenderung panas tapi ternyata begitu selesai perkuliahan di jam 8 malam tiba – tiba suhu langsung drop dan baru sedikit menyesal kenapa ga bawa jaket untuk menghalau hawa dingin.
Big Screen with Cafetaria Spot
Nah, kalau untuk sistem belajar sendiri pastinya beda banget, mungkin dulu ketika S1 aku bisa dibilang sebagai mahasiswa kura – kura (kuliah rapat – kuliah rapat) dan belajar tuh biasanya sistem kebut semalam tapi itu ga berlaku buatku disini. Aku dituntut untuk baca materi terlebih dahulu dan belajar secara mandiri karena dosen biasanya akan memeberi materi di online learning platform yang bernama MOODLE dan setelah itu akan ada beberapa learning sources lainnya seperti reading materials, video maupun tugas yang sesuai dengan subjek mata kuliah yang tengah kita ambil. Jadi ketika kelas berlangsung akan lebih banyak diskusi dengan dosen maupun teman – teman kita yang lain.  Sementara, ketika mencari tempat belajar di luar ruang kelas yang cukup nyaman akan ada banyak sekali pilihan, kita bisa belajar di perpustakaan, Grad Hub (ruangan belajar khusus mahasiswa master yang disediakan dari Monash), MPA (Monash Post Graduate Association) Lounge atau sekadar duduk glosoran di taman. Tetapi ruangan ini bakal penuh ketika menjelang deadline submit tugas jadi mesti cepet – cepetan deh.
One of the Library in Monash
Sementara untuk urusan makan dan jajan sehari – hari, aku lebih sering masak karena bisa menghemat biaya. Buat aku yang ga terlalu bisa masak, awal – awal pasti agak kesulitan tapi tenyata untuk mencari bumbu Indonesia dan Asia di Melbourne itu ga sulit. Jadi ketika kangen masakan rumah kita bisa langsung masak untuk ngobatin rasa rindu. Oh iya,  perbedaan harga yang jauh juga bisa bikin kita banyak mengeluarkan biaya kalau terlalu sering makan di luar. Untuk sehari – hari, sekali makan di luar itu biayanya 10 – 15 AUD, bayangkan kalau tiap hari kita harus makan setidaknya dua sampai tiga kali. Untuk menyiasati ini. ketika pergi ke kampus pun aku bawa bekal. Nah, asiknya juga ada fasilitas student kitchen yang ada microwavenya kalau kita ingin menghangatkan makanan. Untuk air mineral pun ada fasilitas tap water di area kampus jadi  kita cukup bawa botol minum aja untuk isi ulang.
Learning and Teaching Building

Perjalananku di negara ini tentunya masih akan panjang dan aku sangat bersyukur bisa merealisasikan satu per satu dari mimpiku. Aku pun semakin bersemangat ketika mengingat di kemudian hari akan banyak cerita yang aku ukir di negara ini bersama dengan kisah dan teman – teman yang baru. Kedepannya aku akan banyak cerita juga tentang kisahku di kampus ini yang mungkin bisa jadi inspirasi juga buat kalian :)

Sabtu, 20 Januari 2018

Menjadi Gelas Setengah Penuh

1/20/2018 01:36:00 AM 1 Comments
Perjalanan memulai tahun 2018 ini aku buka dengan kembali mengikuti kegiatan RK Mentee 2018 (Hah? Ikutan lagi?). Iya, jadi setelah tahun lalu aku mendapat kesempatan untuk bisa mengikuti serangkaian kegiatan Living The Experience (LTE) kemudian tahun ini aku bisa merasakan program yang sama. Kali ini aku bukan lagi sebagai peserta namun panitia tambahan. Hal baiknya adalah aku jadi bisa mengikuti sesi yang disampaikan oleh pembicara. Saat datang ke Rumah Perubahan, aku diminta untuk memperkenalkan diri kepada peserta kegiatan tahun ini dan aku pun memberi sedikit nasihat bahwa jadilah pribadi dengan komposisi seperti gelas kosong sehingga tidak merasa cepat puas dan sombong atas segala pencapaian yang ada. Maksudnya gimana tuh? Seperti yang sudah – sudah, para peserta program ini dijaring dari ribuan pendaftar dan memiliki background pengalaman kepempinan yang baik seperti aktivis kampus atau aktif di kegiatan sosial. Tetapi, ada baiknya para peserta bisa belajar dari satu sama lain dan menyerap berbagai macam informasi baru.



Setelah proses perkenalan dengan peserta, aku pun kemudian berbincang dengan teman – teman mentee di Rumah Perubahan. Waktu itu, Mas Enje (RK Mentee 2016) memberiku sedikit masukan akan filosofi sebuah gelas kosong menjadi sebuah gelas setengah penuh. Dengan menjadi sosok seperti ini, kita akan mengkaji dan menggali informasi yang baru kita dapat dengan pengetahuan yang sudah kita miliki. Sehingga, kita akan membiarkan otak kita untuk berproses lebih dalam dengan bekal ilmu yang telah kita punya.



Dengan bekal pengalaman yang sudah aku miliki, aku jadi mencerna lebih dalam berbagai kegiatan yang ada pada Living The Experience 2018. Beberapa perbedaan konsep acara yang aku temui justru malah mempertajam pola pikirku untuk nantinya mempersiapkan diri menjadi mahasiswa program master. Jujur, ada sedikit rasa deg – degan ketika harus berangkat untuk memulai sekolah lagi dengan tempat, kultur, bahasa maupun lingkungan yang baru di benua sebrang. Hal lainnya yang bisa aku siapkan adalah menggali insight dengan berbincang seputar dunia pendidikan dan teknologi bersama beberapa orang yang aku temui di Rumah Perubahan kemarin termasuk Prof. Rhenald Kasali dan Bunda Elisa Kasali. Okey, rasanya sekarang aku udah siap untuk memulai pengalaman baru dan penuh tantangan pastinya di negeri Kangguru :D